Sunday, September 20, 2015

Analisis Singkat terhadap al-Ikhlas (Bagian 4)

al-Ikhlas/112:4

وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ
Transliterasi: Wa lam yakul lahu kufuwan ahad
Terjemahan (M.M. Pickthall): And there is none comparable unto Him
Terjemahan (Kementerian Agama Indonesia): Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia

Selain makna harfiahnya bahwa tidak ada yang setara atau dapat dibandingkan denganNya yang merupakan konsep monoteisme yang disetujui baik oleh Islam maupun Yudaisme, bisa jadi ayat ini juga merupakan kritik implisit al-Qur'an terhadap konsep dyophysite karena adanya "kesetaraan" atau "penyatuan" (hypostatic union) antara nature Divine Logos dan nature manusia pada Yesus.

Kesimpulan
al-Ikhlas memberikan jawaban kepada para Yahudi atas pertanyaan mereka tentang atribusi Tuhan dalam Islam, yaitu:
- Terdapat banyak kesamaan antara Islam dan Yudaisme, yaitu bahwa Tuhan itu Esa, tempat bergantung segala sesuatu dan tidak berubah, tidak beranak dan diperanakkan secara literal, dan tidak ada sesuatu apaun yang setara yang dapat dibandingkan denganNya
- Begitu pun, ada hal yang di Yudaisme diperbolehkan, tetapi dilarang di Islam, yaitu memakai terminologi "ayah", "anak", dan "memperanakkan" untuk Tuhan dan hubungan Tuhan dan manusia walaupun Yudaisme memahami ini secara konotatif. Hal ini kemungkinan disebabkan terjadinya pergeseran makna sehingga pemakaian istilah ini akan mengarah kepada pemaknaan Trinitas
- Terkait dengan konsep ketuhanan Kristen, terdapat indikasi kritik Islam terhadap Trinitas dalam suroh ini, terutama pada sisi "3 hypostasis"-nya instead of dari sisi "1 ousia"-nya dan konsep dyophysite.


Daftar Pustaka

Versi 1.0 2015-09-20: Post awal

Saturday, September 19, 2015

Analisis Singkat terhadap al-Ikhlas (Bagian 3)

al-Ikhlas/112:3

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
Transliterasi: Lam yalid wa lam yulad
Terjemahan (M.M. Pickthall):  He begetteth not nor was begotten
Terjemahan (Kementerian Agama Indonesia): Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,

Yang menarik, al-Qur'an di sini memakai kata yang merupakan turunan dari walad yang lebih merujuk kepada anak secara biologis, yang dalam konteks Tuhan dan hubungan antara Tuhan dan manusia juga ditentang oleh Yudaisme.

Di Yudaisme, terdapat beberapa ayat yang memakai istilah "anak", "ayah", atau "memperanakkan" terkait dengan Tuhan dan hubungan antara Tuhan dan manusia:

Debarim/Deuteronomy/Ulangan 32:18
צוּר יְלָדְךָ, תֶּשִׁי; {ר} וַתִּשְׁכַּח, אֵל מְחֹלְלֶךָ
Terjemahan (Mechon-Mamre): Of the Rock that begot thee thou wast unmindful, and didst forget God that bore thee
Terjemahan: Kepada Batu yang memperanakkanmu (Bani Israil), telah kamu lalaikan, dan telah kau lupakan Tuhan yang melahirkanmu

Tehillim/Psalm/Mazmur 89:27
הוּא יִקְרָאֵנִי, אָבִי אָתָּה; אֵלִי, וְצוּר יְשׁוּעָתִי
Terjemahan (Mechon-Mamre): He shall call unto Me: Thou art my Father, my God, and the rock of my salvation
Terjemahan: Dia (Dawud) akan menyeru-Ku: 'Engkau adalah ayahku, tuhanku, dan batu keselamatanku

Tehillim/Psalm/Mazmur 89:28
אַף-אָנִי, בְּכוֹר אֶתְּנֵהוּ; עֶלְיוֹן, לְמַלְכֵי-אָרֶץ
Terjemahan (Mechon-Mamre): I also will appoint him first-born, the highest of the kings of the earth.
Terjemahan: Aku akan menunjuknya (Dawud) sebagai anak pertama, yang tertinggi di antara raja-raja di bumi.

Tehillim/Psalm/Mazmur 2:7
אֲסַפְּרָה, אֶל-חֹק: יְהוָה, אָמַר אֵלַי בְּנִי אַתָּה--אֲנִי, הַיּוֹם יְלִדְתִּיךָ
Terjemahan (Mechon Mamre): I will tell of the decree: YHWH said unto me: 'Thou art My son, this day have I begotten thee
Terjemahan: Aku akan memberitahukan tentang ketetapan (Tuhan): YHWH berkata kepadaku: 'Kamu adalah anak-Ku, pada hari ini Aku telah memperanakkanmu

Dari kutipan di atas, terlihat seakan ayat-ayat Bible ini, terutama Psalm 2:7, bertentangan dengan al-Ikhlas/112:3 padahal Yudaisme memahami istilah "anak", "ayah", dan "memperanakkan" ini tidak secara literal, melainkan secara konotatif, yaitu hubungan yang erat antara Bani Israil dan Nabi Dawud (as) dengan Tuhan.

Jadi, para Yahudi yang bertanya kepada Rosulullah (saw) akan memahami ayat ini sebagai penolakan Islam terhadap kepercayaan apa pun yang menganggap adanya anak Tuhan atau Tuhan sebagai ayah secara literal, sekaligus penolakan Islam terhadap penggunaan istilah "ayah", "anak", dan "memperanakkan" untuk Tuhan dan dalam hubungan antara Tuhan dengan makhluknya walaupun secara konotatif.

Tentu, pertanyaan lanjutan yang akan muncul adalah mengapa al-Qur'an menolak pemakaian istilah ini padahal Islam sendiri memakai istilah konotatif lain seperti khalilullah (kekasih Allah) bagi Nabi Ibrohim (as)?

Menurut saya, kemungkinan terbesar penyebabnya adalah Trinitas, yang menyebabkan asosiasi pemakaian kata-kata ini akan mengarah ke sana. Kita dapat memahami ini dengan menggunakan kacamata semiotika, yaitu dari hubungan antara penanda dan petanda.

Pada saat Psalm ini dibukukan, kalangan Yudaisme memahami istilah-istilah ini secara konotatif. Namun, setelah Konsili Nicea yang merumuskan ortodoksi ketuhanan Kristen, maka terjadi pergeseran makna ("petanda") untuk suatu kata ("penanda") yang sama sehingga makna "anak", "ayah", dan "memperanakkan" untuk Tuhan dan hubungan Tuhan dan manusia di zaman Rosulullah (saw) (dan juga sampai dengan sekarang) sama sekali berbeda dengan maknanya di zaman Psalm dibukukan. Jika kata-kata tersebut digunakan di zaman Rosulullah (saw), maka asosiasi yang terjadi adalah dengan pemaknaan Trinitas, bukan pemaknaan Yudaisme. Selain itu, pemaknaan Trinitas ini sudah menjadi pemaknaan mayoritas sehingga jika kata-kata ini dipakai, bisa terjadi kerancuan pemahaman karena dipakainya kata (penanda) yang sama untuk makna (petanda) yang sama sekali berbeda.

Penolakan al-Qur'an terhadap pemakaian istilah ini walaupun dalam makna konotatifnya, juga dapat diartikan sebagai penegasan Islam secara implisit bahwa konsep monoteismenya (tawhid) berbeda dengan konsep Trinitas sehingga perlu ada jarak yang diciptakan yang salah satunya adalah dengan tidak memakai kata-kata yang pemaknaannya mengarah ke Trinitas seperti yang tersebut di atas.


Daftar Pustaka:

Versi 1.0 2015-09-19: Post awal

Tuesday, September 15, 2015

Analisis Singkat terhadap al-Ikhlas (Bagian 2)

al-Ikhlas/112:2

ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ
Transliterasi: Allahush shomad
Terjemahan (Yusuf Ali): God, the Eternal, Absolute
Terjemahan (M.M. Pickhtall): Allah, the Eternally Besought of all!
Terjemahan (Ali Quli Qarai): Allah is All-embracing
Terjemahan (Kementerian Agama Indonesia): Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu

Yang langsung terlihat beberapa terjemahan di atas adalah begitu banyaknya varian terjemahan ayat ini yang terjadi karena perbedaan dalam memaknai ash-shomad:
- Secara literal, shomad artinya yang solid tanpa lubang atau kekosongan di dalam; tidak berubah; berniat atau berpaling pada; 
- Dia yang tempat bergantung segala sesuatu. (Tafsir al-Mizan)
- Yang dituju atau dijadikan sandaran dalam berbagai kebutuhan (Tafsir al-Jalalayn)
- Eksistensi absolut yang hanya milikNya, selainnya adalah eksistensi yang sementara atau kondisional; Dia tidak bergantung kepada apa pun, tetapi semuanya bergantung kepadaNya (Yusuf Ali)

Tentunya, sebagai agama monoteis yang paling dekat dengan Islam, dengan penjelasan ini para Yahudi yang bertanya kepada Rosulullah (saw) dapat memahami kesamaan pandangan Islam dengan mereka. Hal ini juga sejalan dengan makna lain dari היה (h-y-h) yang merupakan akar kata dari יהוה (y-h-w-h), yaitu "self-existence".

Yang menarik adalah arti ash-shomad sebagai "yang solid" memiliki paralel dengan penyebutan Tuhan sebagai "Batu" dalam tradisi Yudaisme (dan juga Kristen). Hal ini juga disebutkan oleh Mun'im Sirry melalui akun Twitter @MunimSirry yang kultwit terkait hal ini dapat dibaca di http://chirpstory.com/li/243954

Dari penyebutan Tuhan sebagai Batu di Tanak (istilah Yudaisme untuk Bible yang dikenal sebagai Perjanjian Lama di Kristen), istilah ini paling sering dipakai di Tehillim (Psalm/Mazmur/Zabur).

Contoh pemakaian istilah ini di Tehillim/Psalm/Mazmur 18:32
כִּי מִי אֱלוֹהַּ, מִבַּלְעֲדֵי יְהוָה;    וּמִי צוּר, זוּלָתִי אֱלֹהֵינוּ
Terjemahan (Mechon Mamre):  For who is God, except YHWH? And who is a Rock (Tzur), except our God?

Jadi, jika al-Ikhlas:1 membawa referensi kepada Shma` Yishrael yang dibawa oleh Nabi Musa (as), al-Ikhlas:2 membawa referensi pada Nabi Dawud (as) yang keduanya adalah 2 figur terbesar dalam Yudaisme.

Pengertian ash-shomad lainnya, "tidak berubah", juga menimbulkan suatu pertanyaan yang menarik terkait dengan Trinitas. 

Menurut Council of Nicea, Trinitas adalah "3 hypostasis (person) dalam 1 ousia (substansi)". Dengan kata lain, menurut Trinitas, terdapat 3 person yang berbeda (Bapa, Anak, & Roh Kudus), tapi ketiganya 1 substansi. Seorang Kristen akan menolak jika disebut sebagai seorang politeis karena Trinitas tidak sama dengan Triteisme yang menganggap adanya 3 Tuhan yang memiliki substansi yang berbeda dan Triteisme jelas ditolak dalam Kristen. Menurut doktrin Council of Chalcedon, terdapat 2 physis (nature) dalam Iesous Kristos, yaitu ketuhanan (yang merupakan hypostasis Anak sehingga substansinya Tuhan) dan kemanusiaan (yang memiliki substansi yang sama dengan manusia lain) yang satu dengan yang lainnya tidak bercampur. Dengan kata lain, terjadi inkarnasi hypostasis Anak dalam tubuh manusia sehingga hasilnya adalah Tuhan dan menusia sekaligus. Keyakinan ini disebut sebagai dyophysite.

Jadi, bisa jadi ini adalah kritik implisit al-Qur'an kepada Trinitas terutama dalam hal inkarnasi, karena terjadinya perubahan dalam hypostasis Anak dari tidak mendiami tubuh manusia menjadi mendiami, walaupun di sisi lain, jika dilihat dari sisi ousia, tidak ada perubahan dari substansiNya.

Daftar Pustaka

Versi 1.0 2015-09-15: Post awal
Versi 1.1 2015-09-19: Tambahan analisis pengertian ash-shomad sebagai "tidak berubah"

Sunday, September 13, 2015

Analisis Singkat terhadap al-Ikhlas (Bagian 1)

Pendahuluan
al-Ikhlas (Q.S. 112) adalah salah satu suroh yang paling banyak mendapatkan perhatian di al-Qur'an. Walaupun singkat, namun ia memuat inti konsep monoteisme dalam Islam. Telah banyak tafsir yang membahas surat ini, juga kajian-kajian dari sisi filosofis. Tulisan ini hanya mencoba membahas dari salah satu sudut pandang saja, yaitu bagaimana memaknai al-Ikhlas dalam konteks asbabun nuzul-nya seperti yang tertera dalam 1 hadits di bawah ini.

Asbabun Nuzul
Ada beberapa versi asbabun nuzul suroh ini, namun di sini kita akan memfokuskan kepada salah satunya menurut hadits yang terdapat di Ushul al-Kafi (Kitab at-Tawhid, Bab an-Nisbah) berikut ini:

أحمد بن إدريس، عن محمد بن عبد الجبار، عن صفوان بن يحيى، عن أبي أيوب، عن محمد بن مسلم، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: إن اليهود سألوا رسول الله صلى الله عليه وآله فقالوا: انسب لنا ربك فلبث ثلاثا لا يجيبهم ثم نزل قل هو الله أحد إلى آخرها. ورواه محمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد، عن علي بن الحكم، عن أبي أيوب.

Abu `Abdillah (Imam Ja`far ash-Shodiq) berkata, "Para Yahudi bertanya kepada Rosulullah (saw): '[Terangkanlah] pada kami atribusi (pensifatan) Robbmu'. Maka selama 3 hari beliau tidak menjawab mereka, lalu diwahyukan Qul huwallahu ahad hingga akhir [suroh]."

Menurut al-Majlisi dalam Mir'atul `Uqul, hadits ini isnadnya shohih.

Dari hadits ini dapat dipahami:
1. al-Ikhlas turun sekaligus dari awal suroh hingga akhir suroh.
2. Turunnya al-Ikhlas adalah sebagai jawaban dari pertanyaan para Yahudi tentang bagaimana Nabi (dan juga Islam) memandang atribusi (pensifatan) Tuhan. Oleh karena itu, artinya al-Ikhlas harus dapat dipahami oleh para Yahudi dalam konteks Yudaisme atau dalam konteks paham ketuhanan lain, termasuk Kristen, yang dikenal di zaman tersebut.

al-Ikhlas/112:1
Yang sangat menarik adalah bagaimana al-Ikhlas dimulai dengan ayat yang sangat mirip dengan formulasi Shma` Yishrael yang terdapat dalam Torah (Debarim/Deuteronomy/Ulangan 6:4)

قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ
Transliterasi: Qul huwallahu ahad
Terjemahan (M.M. Pickthall): Say: He is Allah, the One!
Terjemahan (Kementerian Agama Indonesia): Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa

שְׁמַע, יִשְׂרָאֵל:  יְהוָה אֱלֹהֵינוּ, יְהוָה אֶחָד
Transliterasi: Shma` Yishrael: YHWH eloheynu, YHWH ehad
Terjemahan (Mechon Mamre): Hear O Israel: the LORD our God, the LORD is one
Terjemahan: Dengarlah Israel: YHWH tuhan kita, YHWH esa
(Catatan: Dalam tradisi Yudaisme, nama pribadi Tuhan dilambangkan dengan 4 huruf yod-he-waw-he yang tidak boleh diucapkan dan dalam bacaan diganti dengan Adonay (Tuan) atau HaShem (al-Ism/The Name/Nama))

Kesamaan ini juga disebutkan oleh Mun'im Sirry dalam twitnya dengan akun @MunimSirry yang kultwitnya untuk al-Ikhlas/112:1 dapat dibaca di sini: http://chirpstory.com/li/243726

Salah satu kemungkinan mengapa al-Ikhlas dimulai seperti ini adalah karena formulasi Shma` Yishrael adalah formulasi konsep ketuhanan yang paling dikenal oleh para pengikut Yudaisme dari dulu sampai dengan sekarang. Shma` juga adalah inti dari tefillah (sembahyang) shaharit (pagi) dan ma`arib (malam) yang dipercaya sebagai bagian dari mitzwah (perintah Tuhan dalam Torah). Seperti yang diperintahkan kepada mereka dalam Deuteronomy 6:7, para pengikut Yudaisme juga mengajarkan Shma` ini kepada anak mereka dan menjadi kalimat yang mereka sebut sewaktu baru bangun (dalam tefillah shaharit) dan sebelum tidur (dalam tefillah ma`arib).

Ada paralel lain yang menarik di al-Ikhlas/112:1. Ayat ini secara harfiah juga dapat diterjemahkan sebagai: Say: He, Allah, is Unique (Katakanlah: Dia, Allah, itu Esa). Fokus di sini adalah pada "He" ("Dia").  יהוה (y-h-w-h) secara etimologis bersumber dari היה (h-y-h) yang berarti "to be" atau "menjadi". Pemakaian salah satu varian dari akar kata ini bisa dilihat di Shemot/Exodus/Keluaran 3:14 yang menuliskan bagaimana jawaban Tuhan sewaktu Nabi Musa (as) bertanya kepadaNya pada ayat sebelumnya apa yang harus dikatakannya kepada Bani Isroil jika mereka bertanya siapa nama (ism) Tuhan:

וַיֹּאמֶר אֱלֹהִים אֶל-מֹשֶׁה, אֶהְיֶה אֲשֶׁר אֶהְיֶה; וַיֹּאמֶר, כֹּה תֹאמַר לִבְנֵי יִשְׂרָאֵל, אֶהְיֶה, שְׁלָחַנִי אֲלֵיכֶם
Terjemahan (Mechon Mamre): And God said unto Moses: "I AM THAT I AM (ehyeh asher ehyeh)"; and He said: "Thus shalt thou say unto the children of Israel: 'I AM (ehyeh) hath sent me unto you'.

אֶהְיֶה (ehyeh) adalah bentuk tunggal pertama maskulin (first person singular masculine) yang bersumber dari היה (h-y-h) sedangkan יהוה (y-h-w-h) adalah bentuk tunggal ketiga maskulinnya (third person singular masculine). Jadi, dengan kata lain, YHWH dapat berarti HE IS (seperti ehyeh berarti I AM). Pemakaian هُوَ (huwa/He/Dia) yang juga merupakan bentuk tunggal ketiga maskulin adalah paralel menarik yang terkait dengan etimologis YHWH ini.

Dengan 2 paralel ini, menjadi jelas bagi para Yahudi yang bertanya kepada Rosulullah (saw) bahwa Islam memandang Tuhan itu Esa seperti yang mereka pahami dan Tuhan-nya Islam adalah sama dengan Tuhan yang mereka yakini (yaitu Tuhan itu sendiri).


Daftar Pustaka

Versi 1.0 2015-09-13: Post awal
Versi 1.1 2015-09-13: Penambahan paralel etimologis YHWH, beberapa perbaikan kecil

Sunday, August 23, 2015

Larangan Para Marja' Syi`ah terhadap Cacian kepada Sahabat & Istri Nabi: Sebuah Tinjauan Singkat

Pada tulisan singkat ini, tidak akan dibahas seperti apa sikap para `ulama Syi`ah terhadap cacian kepada para sahabat dan istri Nabi karena jelas dari fatawa mereka bahwa ini diharamkan, seperti yang bisa dilihat di beberapa link sebagai berikut:

Tulisan ini hanya sedikit membahas lebih lanjut tentang aspek-aspek yang sepertinya belum terlalu banyak dibahas.

Prinsip Ushul Fiqh Syi`ah: Hadits vs al-Qur'an
Dalam ushul fiqh Syi`ah, suatu hadits tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an.
Prinsip ini terlihat pada cuplikan suatu riwayat sebagai berikut:

فَقَالَ أَبُو قُرَّةَ فَتُكَذِّبُ بِالرِّوَايَاتِ فَقَالَ أَبُو الْحَسَنِ ع إِذَا كَانَتِ الرِّوَايَاتُ مُخَالِفَةً لِلْقُرْآنِ كَذَّبْتُهَا

Abu Qurroh bertanya, "Apakah anda menolak riwayat (hadits)?" Abul Hasan (Imam `Ali b. Musa ar-Ridho) berkata, "Bila suatu riwayat bertentangan dengan al-Qur'an, maka tolaklah."

Hadits ini terdapat di al-Kafi (al-Kulayni) dan at-Tawhid (ash-Shoduq) dan dinyatakan shohih oleh al-Majlisi dalam Mir'atul `Uqul.

Prinsip ini dipegang oleh para `ulama Syi`ah sejak zaman dulu sampai dengan sekarang.
Muhammad b. `Ali al-Qummi yang dikenal dengan nama ibn Babawayh atau Syaykh ash-Shoduq, salah satu `ulama klasik Syi`ah yang wafat pada tahun 991, menyatakan di dalam al-I`tiqodat bahwa setiap hadits yang tidak sesuai dengan Kitabullah adalah bathil.
Abul Qosim al-Musawi al-Khui, salah satu `ulama Syi`ah yang wafat pada tahun 1992 yang dikenal ketinggian ilmunya dalam ilmu hadits dan fiqh, juga menegaskan prinsip ini di dalam bukunya al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, yaitu riwayat harus dibandingkan dengan al-Qur'an dan jika suatu riwayat bertentangan dengan al-Qur'an, maka riwayat tersebut harus disingkirkan.

Jadi jelas bahwa jika ada hadits yang matn (isi)-nya bertentangan dengan al-Qur'an maka akan ditolak, terlepas seperti apa isnadnya.
Lalu, seperti apa al-Qur'an mengatur tentang cacian dan cara berkomunikasi?

Sikap al-Qur'an terhadap Cacian
Al-Qur'an melarang cacian bahkan kepada sesembahan kaum musyrikin seperti pada ayat sebagai berikut:
Q.S. al-An`am/6:108

وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍۢ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.

Dari sini terlihat jelas, jika kepada patung sesembahan saja kita dilarang untuk melakukan cacian, apalagi kepada manusia.

Prinsip Komunikasi Menurut al-Qur'an
Dalam Islam Aktual, Jalaluddin Rakhmat memaparkan seperti apa prinsip komunikasi menurut al-Qur' an:
1. Qowlan Sadidan
Artinya adalah komunikasi yang benar dan straight to the point yang dapat kita lihat pada ayat sebagai berikut:
Q.S. an-Nisa/4:9

وَليَخشَ الَّذينَ لَو تَرَكوا مِن خَلفِهِم ذُرِّيَّةً ضِعافًا خافوا عَلَيهِم فَليَتَّقُوا اللَّهَ وَليَقولوا قَولًا سَديدًا

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Q.S. al-Ahzab/33:70

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقولوا قَولًا سَديدًا

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,

2. Qowlan Balighon
Artinya adalah komunikasi yang fasih dan jelas sehingga efektif seperti yang dapat kita lihat pada ayat sebagai berikut:
Q.S. an-Nisa/4:63

أُولٰئِكَ الَّذينَ يَعلَمُ اللَّهُ ما في قُلوبِهِم فَأَعرِض عَنهُم وَعِظهُم وَقُل لَهُم في أَنفُسِهِم قَولًا بَليغًا

Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.

Menurut Aristoteles, komunikasi yang efektif itu menyentuh 3 aspek sekaligus, yaitu ethos (kredibilitas komunikator), pathos (aspek emosional audience), dan logos (aspek rasional audience).

3. Qowlan Maysuron
Artinya adalah komunikasi yang pantas/reasonable seperti yang dapat kita lihat pada ayat sebagai berikut:
Q.S. al-Isra'/17:28

وَإِمّا تُعرِضَنَّ عَنهُمُ ابتِغاءَ رَحمَةٍ مِن رَبِّكَ تَرجوها فَقُل لَهُم قَولًا مَيسورًا

Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas.

4. Qowlan Layyinan
Artinya adalah komunikasi dengan lemah lembut
Q.S. Ta Ha/20:44

فَقولا لَهُ قَولًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَو يَخشىٰ

maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut".

5. Qowlan Kariman
Artinya adalah komunikasi dengan perkataan yang mulia seperti yang dapat kita lihat pada ayat sebagai berikut:
Q.S. al-Isra'/17:23

وَقَضىٰ رَبُّكَ أَلّا تَعبُدوا إِلّا إِيّاهُ وَبِالوالِدَينِ إِحسانًا ۚ إِمّا يَبلُغَنَّ عِندَكَ الكِبَرَ أَحَدُهُما أَو كِلاهُما فَلا تَقُل لَهُما أُفٍّ وَلا تَنهَرهُما وَقُل لَهُما قَولًا كَريمًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

6. Qowlan Ma`rufan
Artinya adalah komunikasi dengan perkataan yang baik seperti yang terlihat pada ayat berikut ini:
Q.S. an-Nisa/4:5

وَلا تُؤتُوا السُّفَهاءَ أَموالَكُمُ الَّتي جَعَلَ اللَّهُ لَكُم قِيامًا وَارزُقوهُم فيها وَاكسوهُم وَقولوا لَهُم قَولًا مَعروفًا

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.

Terlihat dengan jelas bahwa cacian bertentangan dengan prinsip-prinsip komunikasi di al-Qur'an seperti yang disebutkan di atas.

Dampak Negatif Cacian
Selain memuaskan ego pelakunya, tidak terlihat adanya manfaat positif dari cacian. Malah, yang langsung tampak adalah dampak negatifnya.

Jika sesuatu yang kita cintai dan hormati dicaci oleh pihak lain, maka secara naluriah kita akan membenci si pelaku dan mungkin bisa terpancing untuk menghina balik si pelaku atau sesuatu yang dihormati atau dicintainya sebagai retaliation (balas dendam). Kita juga akan menutup telinga kita dari apa yang dikatakan si pelaku, walaupun mungkin ada kebenaran yang ia sampaikan. Dari sini, bisa kita bayangkan apa yang terjadi jika Nabi atau kaum muslimin awal mencaci maki sesembahan kaum musyrikin.

Oleh karena itu juga, Syi`i yang mengumbar cacian kepada para sahabat dan istri Nabi, selain memang diharamkan, akan membawa efek negatif terhadap diri dan madzhabnya, terutama menimbulkan kebencian pihak lain kepada Syi`ah untuk sesuatu yang sebenarnya dilarang di Syi`ah. Hal ini dapat dianalogikan seperti seorang muslim yang menindas orang lain sehingga menimbulkan kebencian bukan hanya kepada si pelaku, tetapi bagi pihak yang tidak begitu mengerti, Islam-nya sendiri juga bisa dibenci karena dianggap ini adalah ajaran agama Islam.

Selain itu, dia malah memberikan amunisi kepada pihak takfiri yang sebenarnya minoritas di Islam untuk memanas-manasi dan memanipulasi mayoritas muslimin yang sebenarnya moderat dan toleran. Secara tidak langsung, dia turut bersalah dalam membuat para muslimin yang toleran menjadi termakan fitnah dan ikut-ikutan membenci Syi`ah dan merestui, atau malah melakukan, persekusi terhadap Syi`ah. Dia tak lain hanya memuaskan egonya saja karena apa yang dia lakukan jelas salah dan bertentangan dengan perintah agama.

Penutup
Sayangnya, sampai sekarang tuduhan bahwa Syi`i mencaci maki sahabat & istri Nabi masih terus dilayangkan oleh beberapa pihak. Semoga tulisan ini, bersama dengan banyak tulisan dan buku yang sudah ditulis yang menjawab tuduhan ini, bisa menunjukkan ketidakbenaran tuduhan tersebut.

Mari kita semua mencoba adil dalam berpikir dan bersikap. Kalau sebagai muslim kita tidak suka ada non-muslim lain yang sembarangan menuduh Islam tanpa klarifikasi kebenarannya kepada kita, janganlah kita menuduh madzhab lain sebelum kita mengklarifikasinya kepada penganut atau lebih baik lagi kepada `ulama madzhab tersebut. Jika kita tidak suka jika ada non-muslim yang belajar tentang Islam dari mereka yang anti Islam, maka selayaknyalah kita belajar madzhab lain bukan dari musuh-musuhnya, tetapi dari penganut atau `ulama madzhab itu sendiri supaya kita memahami madzhab tersebut sebagaimana penganutnya memahaminya. 

Kita tidak perlu menyetujui 100% mereka yang berbeda dengan kita, tetapi kita perlu memahami mereka. Dengan memahami pihak lain, kita juga menjadi mengerti bahwa pemahaman Islam itu beragam dan pemahaman itu bukanlah Islam itu sendiri. Islam yang sejati adalah yang diketahui oleh Rosulullah (saw), sementara yang dapat kita lakukan adalah aproksimasi semaksimal mungkin. Seperti perjalanan menuju kecepatan cahaya, kita hanya dapat mendekatinya, tetapi tidak pernah benar-benar sampai padanya.

Dengan memahami pihak lain, pintu dialog akan terbuka. Dengan terbukanya pintu dialog, maka akan terjadi rasa saling menghormati, saling belajar, dan saling bekerjasama dalam semangat fastabiqul khoyrot sehingga masing-masing akan terus menjadi semakin baik.

Semoga bisa terjadi.

Versi 1.1 (2015-08-23)